Simple craft, simple life.

Senin, 23 November 2015

Di Balik Kata ‘Ciee..’ pada 2 Orang Lain Jenis Belum Nikah

17.13 Posted by Unknown 1 comment
KATA ‘ciee…’ ini, sering terucap jika ada wanita dengan laki-laki yang dianggap memiliki hubungan spesial yaitu cinta. Padahal hal itu belum tentu. Sebab bisa jadi mereka hanya kebetulan sering bersama-sama, ataupun terikat oleh kegiatan bersama. Misal, kerja kelompok, kerja di tempat yang sama.
Akan tetapi kata ‘ciee…’ mampu membuat hati yang tidak memiliki rasa tertarik satu sama lain. Karena jika intensitas kata ‘ciee…’ ini sering bahkan menjadi sebuah kebiasaan maka akan memunculkan rasa yang memang tak seharusnya mencuat ke permukaan, seperti cinta.
Kata ‘ciee..’ juga salah satu jalan masuknya setan untuk menggoda, hingga kita bisa terjerumus ke dalamnya. Maka kita harus cepat menyadari kata ‘ciee’ ini apakah masih dalam tahap wajar dan normal, jika tidak persiapkan diri untuk menarik diri dari sosialisasi dengan teman.
Caranya dengan baik-baik tentunya, terdiri dari tiga tahap:
Tahap pertama menikmati. Menikmati disini bukan berarti kita bangga bisa di ‘ciee’ kan dengan orang tersebut. Tetapi bersikap biasa-biasa saja.
Tahap kedua menegur. Nah, dalam tahap ini kita sudah mulai menolak dengan halus. Seperti, membicarakan dengan orang yang meledek kita bahwa kita tidak suka dengan apa yang ia katakan. Dan dalam tahap ini juga kita bisa menghindari hal tersebut. Misal, jika Anda ciee’in dengan orang lain, maka Anda pergi atau memalingkan muka, menunjukan bahwa Anda tidak menyukai perilaku dia.
Tahap terakhir menjauhinya. Tahapan ini kita sudah masuk ke tahap yang lebih keras. Seperti mendiamkannya selama tiga hari sebagai tanda ketidakkesukaan kita.
Yang paling penting dari semua tahap tersebut adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Sumber: Islampos

Kamis, 19 November 2015

Dampak MEA terhadap Dunia Pendidikan

02.44 Posted by Unknown No comments
MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) kian marak dibincangkan akhir-akhir ini seiring dengan berbagai persiapan yang dilakukan pemerintah untuk menyongsong pelaksanaannya 2015 mendatang. MEA adalah salah satu keputusan dalam Declaration of ASEAN Concord II yang diselenggarakan di Bali pada 7 Oktober 2003.
Sebagai pasar tunggal yang berbasis produksi nantinya ASEAN harus memiliki lima elemen utama yaitu (i) Aliran bebas barang, (ii) Aliran bebas jasa, (iii) Aliran bebas investasi, (iv) Aliran modal yang lebih bebas, serta (v) Aliran bebas tenaga kerja terampil. Salah satu komponen penting dan paling berbahaya dalam AEC adalah ASEAN Framework Agreement on Trade in Services (AFAS), kesepakatan ini pada akhirnya mengarah pada perluasan secara terus menerus komitmen jasa-jasa ke arah arus bebas tahun 2015 dengan fleksibel, mencakup liberalisasi jasa bisnis; jasa profesional; konstruksi; distribusi; pendidikan; jasa lingkungan; pelayanan kesehatan; transportasi maritim; telekomunikasi; dan turisme. 
Salah satu target AFAS adalah menyediakan pengakuan akan pendidikan atau pengalaman, persyaratan, lisensi atau sertifikat yang yang disebut Mutual Recognition Arrangement (MRA). Dengan demikian Indonesia dihadapkan pada persaingan terbuka dalam hal kompetensi. Lalu bagaimanakah posisi Indonesia dihadapan Negara-negara ASEAN lainnya? Mampukah Indonesia bersaing? 
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2013 menyebutkan bahwa postur tenaga kerja Indonesia adalah pekerja lulusan Sekolah Dasar (SD) ke bawah berjumlah sebesar 52 juta orang (46,93%) atau hampir setengah dari total pekerja sebesar 110,8 juta orang. Kemudian pekerja lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 20,5 juta orang (18,5%), pekerja lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 17,84 juta orang (16,1%). Jumlah paling rendah ditemui pada pekerja lulusan universitas dengan jumlah 7,57 juta orang (6,83%) dan lulusan diploma sejumlah 2,92 juta orang (2,63%). Sebagai perbandingan, menurut data Department of Statistics Malaysia (DOSM) pada tahun 2012, jumlah tenaga kerja Malaysia adalah 13,12 juta orang dengan postur sebesar 7,32 juta orang (55,79%) adalah lulusan sekolah menengah dan sejumlah 3,19 juta orang (24,37%) adalah lulusan universitas dan diploma. 
Negara ASEAN lainnya seperti Singapura, menurut data World Bank pada tahun 2012 memiliki jumlah tenaga kerja sebesar 3,22 juta orang dengan pekerja lulusan sekolah menengah sebesar 49,9% dan lulusan universitas dan diploma sebesar 29,4%. Dari data tersebut kita dapat melihat bahwa hampir dari separuh tenaga kerja Indonesia (46,93%) adalah low skilled labour lulusan SD yang secara kontras dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia yang sekitar 80% tenaga kerjanya adalah lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi. Hal ini menyiratkan ketidaksiapan Indonesia dalam pasar bebas tenaga kerja di ASEAN jika MEA diberlakukan per 31 Desember 2015 nanti. 
Melihat fakta diatas, harusnya Indonesia sadar diri untuk tidak menjerumuskan diri pada perdagangan bebas apapun bentuknya termasuk MEA. Namun Indonesia siap tidak siap tetap bersikukuh untuk mengambil bagian dalam arus kapitalisasi global dalam wadah MEA. Dalam penerapannya diambillah beberapa kebijakan yang sedikit banyak terkait dengan dunia pendidikan, karena diasumsikan melalui pendidikanlah dicetak tenaga-tenaga kerja dengan kompetensi yang diharapkan dapat bersaing secara global. 
Terkait MEA ada 4 hal utama yang harus dihadapi dalam penyelenggaraan PT yaitu terkait: 1) peningkatan aksesibilitas, 2)Kurikulum, 3) Sistem Penjaminan Mutu dan 4) Akreditasi. Yang justru dengan beban yang sedemikian rupa PT yang semestinya melakukan pencerdasan kepada generasi justru disibukkan dengan urusan-urusan administrative. Hal ini sejalan pada akhirnya dengan output pendidikan tinggi yang hanya menghasilkan para pekerja untuk memenuhi tuntutan pasar kerja. 
Berbeda halnya dengan islam, Tujuan Umum Pendidikan islam yaitu ; 1.Membangun kepribadian Islam pada generasi muslim, dengan cara membangun pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah)nya.Sehingga senantiasa berperilaku Islam, 2.Mempersiapkan generasi muslim agar di antara mereka menjadi ulama-ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu keislaman (ijtihad, fiqih, peradilan, dan lain-lain) maupun ilmu-ilmu terapan (teknik, kimia, fisika, kedokteran, dan lain-lain). 
Adapun tujuan pendidikan tinggi adalah untuk: (1) Memperdalam dan mengkristalkan kepribadian islami pada mahasiswa pendidikan tinggi. 2) Melahirkan para ahli dan spesialis di semua bidang kehidupan untukmewujudkan kemashlahatan rakyat. (3) Mempersiapkan tenaga ahli yang diperlukan untuk mengat urusan masyarakat, misalnya qâdhi, ahli fikih, saintis, insinyur, dan lain sebagainya. 
Sejarah Islampun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan auditorium, asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. 
Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994). Khilafah mengoptimalkan idealisme pendidikan tinggi dengan menjamin pendanaan, fasilitas dan pengembangan riset untuk peradaban Bangsa. Robert Briffault dalam buku “Making of Humanity; Ilmu pengetahuan adalah kontribusi paling berharga dari peradaban Arab-kekhilafahan kepada dunia modern; Hutang budi kita kepada ilmu pengetahuan orang – orang Arab bukan hanya karena berbagai penemuan dan teori revolusioner yang mencengangkan. Ilmu pengetahuan-lah yang berhutang budi kepada peradaban Arab (kekhilafahan).
Sumber: Islampos
 

Sabtu, 14 November 2015

Penjajahan Yahudi Berkedok industri Hiburan

11.24 Posted by Unknown No comments
PERANG antara penjajah Zionis-Israel melawan rakyat Palestina sudah bukan barang baru. Pembantaian terhadap bayi dan bocah Palestina yang dilakukan tentara Zionis juga sudah kerap terdengar.

Tapi, tahukah Anda bahwa Zionis-Israel ternyata juga menggunakan sarana “hiburan” sebagai mesin perang, dalam melumpuhkan pemuda-pemuda Palestina?

Sebuah laporan pandangan mata, yang ditulis kembali oleh Syaikh Ali Thantawi di awal 1970-an, menceritakan bahwa di sepanjang garis perbatasan yang masuk di wilayah pendudukan tentara Zionis-Israel, penguasa Zionis mendirikan banyak sekali bar dan diskotik.

Sejumlah pelacur Yahudi dipekerjakan di sana. Penguasa Zionis membayar mereka dengan gaji yang lumayan. Tugas utamanya adalah menggoda pemuda-pemuda Palestina untuk melakukan kemaksiatan. Mereka tidak saja ada di dalam bar, tapi juga berkeliaran di jalan-jalan.

Tidak seperti pelacur umumnya, wanita-wanita Zionis ini mau melayani pemuda-pemuda Palestina dengan gratis. Di dalam diskotik dan bar tersebut diedarkan pula film-film dan bacaan porno, obat-obat terlarang, dan segala hal yang membangkitkan syahwat serta melenakan.

Bagaimana dengan pemuda Palestina yang menolak diajak berbuat mesum? Seorang pendatang dari tepian wilayah Barat menceritakan, ”Para pemuda yang menolak ajakan tersebut ditangkap dan diancam oleh penguasa Zionis sebagai orang yang simpati terhadap gerakan pembebasan Palestina.”

“Tujuan penguasa Zionis adalah untuk merusak akidah Islam yang dimiliki pemuda-pemuda Palestina. Mereka menyerang para pemuda kita dengan hiburan dan serbuan budaya,” tulis Syaikh Thantawi.

Apa yang dibuat Zionis di tanah pendudukan Palestina, juga dilakukan mereka di dunia secara keseluruhan. Dengan kekuasaannya yang meliputi berbagai bidang kehidupan manusia, Yahudi berhasil menciptakan kecenderungan dunia. Globalisasi, istilahnya.

Salah satunya adalah industri gaya hidup yang sangat materialistik. Adorno, filusf yang juga salah seorang aktivis Frankfurt Institut—sebuah lembaga kajian ilmu-ilmu sosial politik di Frankfurt, menyatakan bahwa dalam masyarakat industri, keberhasilan hidup seseorang diukur dari dari seberapa banyak orang itu memiliki harta benda. Orang sudah tidak mempermasalahkan dengan jalan apa harta itu di dapat.

“Kebahagiaan yang ditawarkan oleh industri konsumsi adalah kebahagiaan semu, karena tidak membawa manusia pada pemilikan diri yang tenang melainkan membuatnya tergantung dari makin banyak benda,” ujar Adorno.

Industri gaya hidup ditopang kuat oleh media massa dan promosi yang sangat gencar. Kebutuhan hidup bukan lagi ditentukan oleh orang-perorang, tapi oleh produsennya sendiri. Kebutuhan konsumen diciptakan oleh produsen.

Seseorang baru dianggap berhasil jika kemana-mana sudah naik mobil Jaguar, bukan Kijang. Seorang politikus akan dianggap sukses jika ia menduduki jabatan tinggi, walau dengan jalan korupsi. Atau orang belumlah dianggap beradab jika masih makan di warteg, bukan di Sizzler atau Mc Donalds.
[sumber: Islampos]